Perempuan dalam Konservasi

“Ini adalah tulisan lama yang selama ini hanya diam menjadi draft. Lebih baik dibagikan, siapa tahu bisa menambah informasi” -npap20

Status Gunung Agung yang berada pada level III (siaga) tidak menyurutkan niat Odah (panggilan nenek dalam Bahasa Bali) Nengah untuk mengikuti pelatihan pengolahan serat gebang (Agave sisalana) menjadi tali. Tangan tua perempuan asal Desa Dukuh, di bawah kaki timur Gunung Agung ini nampak telaten. Menyambung satu per satu serat gebang dengan alat sederhana dari kayu berbentuk ketapel.

Gebang yang dulunya dianggap tanaman pengganggu oleh masyarakat Dukuh, kini diambil seratnya untuk diolah menjadi gembrang (untaian serat yang telah diikat) dijadikan rambut barong dan rangda. Pekerjaan mengolah serat gebang lumrahnya dikerjakan oleh para ibu di Dukuh. Menggunakan alat sederhana dan mengandalkan kekuatan tangan dari getah Gebang yang membuat gatal. Dulunya gebang bernilai cukup murah, hanya 1.500 namun sekarang bisa mencapai 100.000 per kilonya.

Pengolahan gebang menjadi contoh peran perempuan dalam membantu ekonomi keluarga. Selama ini masyarakat masih menganggap gebang hanya bernilai ekonomi, namun terkandung nilai konservasi di setiap bagian tanaman gebang. Tidak dapat dipungkiri salah satu kesuksesan kegiatan konservasi adalah pelibatan masyarakat secara aktif termasuk para ibu. Odah Nengah menjadi sosok inspirasi bahwa usia tidak menyurutkan niatnya untuk belajar. Saya belajar bahwa para ibu menempati posisi strategis dan penting dalam konservasi. Mengapa demikian? Hal ini mengingatkan saya pada Gerakan Sabuk Hijau (The Green Belt Movement) di Kenya yang menjadi topik skripsi saat kuliah. Bedanya Odah Nengah adalah konteks lokal, potret perempuan Bali yang tetap berkarya di usianya yang senja.

Mengingatkan saya pada teori Ekofeminisme, bukan perkara perempuan semata namun alam adalah sosok feminisme itu sendiri, ibu pertiwi. Eksploitasi terhadap alam dan perempuan bersumber dari gairah untuk mendominasi alam. Mengutip Vandana Shiva, tokoh Ekofeminisme yang pernah berujar “Seeds saving is Dharma”, yang memandang dan merasakan bagaimana kecintaan terhadap benih sejatinya adalah kecintaan terhadap kehidupan. Benih bukanlah benda mati, asal kehidupan termuat didalamnya. Manusia menanam benih secara baik, bekerja sama dengan alam untuk merawat ekosistem.

Bibit-bibit pohon yang ditanam dalam program reforestasi bentang alam Gunung Agung adalah wujud kecintaan terhadap alam. Tentu saja, menghormati alam sejatinya merawat kehidupan agar tumbuh lebih baik. Selama ini yang saya perhatikan, para perempuan sangat jarang ada dalam pertemuan kelompok maupun dalam pembuatan keputusan. Jikapun ada, para ibu cenderung diam. Hanya mengikuti alurnya rapat dan melakukan urusan dapur saja. Nyatanya peran perempuan dalam segala bentuk aktivitas sangatlah penting. Melihat peranan perempuan dalam bidang sosial, ekonomi, dan ekologi sebagai penggerak dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga.

Saya bukanlah orang yang ahli teori Ekofeminisme, namun selalu tertarik untuk mempelajarinya. Pendekatan “empowering” bagi perempuan seperti pelatihan pengolahan serat gebang menjadi tali dan pengolahan hasil perikanan di Seraya Timur bisa menjadi pendekatan untuk mendorong para ibu berkumpul, belajar bersama dan mendengar perspektif mereka soal isu lingkungan. Sehingga mampu berpartisipasi dalam proses pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam dari sudut pandang perempuan. Hal ini juga akan membuka peluang untuk menambah kemampuan dalam pendampingan masyarakat terutama perempuan. Bukankah manusia adalah seorang pembelajar?

Tinggalkan komentar

I’m Ary

Welcome to my blog, that’s

Let’s connect